FENOMENA kepala daerah mengamuk pada acara penting di depan publik sedang menjadi kecenderungan di Tanah Air.
Setelah Wakil Bupati Tolitoli, Sulawesi Tengah, Abdul Rahman H Buding, mengamuk kepada Bupati Mohammad Saleh Bantilan pada Rabu (31/1/2018), giliran Wakil Bupati Morowali Utara, Sulawesi Tengah, Mohamad Asrar Abdul Samad, juga mengamuk kepada Bupati Aptripel Tumimomor, pada pelantikan camat di wilayahnya.
Fenomena kepala daerah mengamuk di depan publik ini tentu menandakan bahwa ada benturan kepentingan yang amat tajam di antara mereka. Kepentingan apalagi jika bukan politis dan ekonomis.
Tidak banyak antara kepala daerah dan wakilnya yang harmonis dalam menjalankan pemerintahan dan melayani masyarakat, karena di antara mereka sejatinya punya kepetingan dan persaingan politis maupun ekonomis yang sulit untuk ditepiskan.
Semuanya bermula dari pencalonan di antara mereka sewaktu berlangsung pemilihan. Dua orang yang dipaketkan mencalonkan diri jarang sekali punya visi dan misi sejalan untuk melayani masyarakat.
Benturan kepentingan umumnya dijalani oleh mereka menjadi kepala daerah hanya dalam rangka mengejar kekuasaan dan jabatan, sehingga ketika sudah dipilih, mereka tak lagi melayani masyarakat. Mereka hanya memikirkan kepentingan pribadi atau kelompoknya, sehingga saling berebut sumber kenikmatan dan kekayaan.
Kepala daerah yang merasa memiliki kuasa penuh berambisi menguasai semua sumber daya kekuasaan dan ekonomi dengan memasang semua kaki tangannya dalam jabatan strategis. Sedangkan wakilnya yang merasa punya andil dalam meraih kemenangan juga tidak mau kehilangan kenikmatan dan kekayaan yang telah dikuasai.
Di dalam pikiran kepala daerah, mereka punya kecenderungan melihat wakilnya sebagai ancaman, sehingga mereka tak mau memberi kesempatan kepada wakilnya. Banyak kejadian bahwa kepala daerah dan wakilmya akhirnya pecah kongsi di akhir jabatan mereka, lalu menjalani kompetisi dalam pemilihan.
Agar sang wakil tidak besar dan berkembang sebagai ancaman, kepala daerah kemudian mengambil jalan dengan mengebiri sumber daya ekonomi dan politik wakilnya. Caranya, dengan tidak memberi wakilnya peran apapun dalam menentukan pejabat di bawahnya.
Bahkan kepala daerah juga jarang memberi peran atau panggung kepada wakilnya untuk tampil atau menunjukkan prestasi kepada masyarakat.
Tetapi, apapun perbedaan kepentingan di antara mereka, sungguh naif bila berkelahi lalu lupa tugas mereka untuk melayani masyarakat seperti yang mereka ucapkan dalam sumpah jabatan atas nama Tuhan yang mereka imani.
Masih banyak cara untuk menjalani kompetisi secara sehat di kemudian hari tanpa mengambil risiko benturan. Misalnya masing-masing kepala daerah dan wakilnya bekerja sama melayani masyarakat sambil masing-masing pihak menyiapkan program strategis yang saling mengungguli untuk ditawarkan kepada masyarakat ketika kontes politik di antara mereka telah tiba.
Dengan begitu, perkelahian mereka laksana anak-anak berebut kembang gula yang dihimpun dari pajak rakyat mereka pertontonkan secara memalukan. (*)